Harry menggelar peta di atas kap mobil Mazda sewaannya, dan mengamati ketika sebutir keringat jatuh di atas kertas peta yang mulai sedikit lecek. Diperhatikannya ketika bercak gelap itu meresap secara perlahan-lahan di sekitar lokasi yang ia perkirakan dimana dia berada sekarang. Harry berharap ini jadi pertanda, sebab kalau tidak ia kemungkinan sudah tersesat. Ini sebenarnya bukan masalah besar seandainya dia hanya sendirian, tapi sekarang...
“Kau sudah tahu kita dimana?” tanya seorang wanita cantik berdada besar dari dalam mobil, nada suaranya merengek sedikit manja.
Begitulah, Harry tidak sendirian. Ada Baby Margaretha bersamanya, pacarnya. Perempuan itu memiliki semua yang dapat diimpikan oleh lelaki di atas ranjang, bahkan lebih dari itu (Baby bisa melakukan apapun imajinasi pria begitu punggungnya menyentuh sprei). Wanita itu sekarang duduk di kursi penumpang, mengenakan kacamata gelap, satu siku bertengger di jendela yang terbuka untuk memamerkan payudaranya yang membusung indah pada Harry.
Harry langsung berhenti mempelajari peta begitu melihatnya. Dia meremas-remas payudara Baby sebentar sebelum wanita itu menepisnya tak lama kemudian. “Temukan dulu dimana kita berada, baru kau boleh memegang punyaku.” katanya ketus.
Harry segera menarik tangannya dan mengalihkan perhatiannya lagi pada peta. Dia bukan pembaca yang handal, tapi kenyataan itu lebih suka disimpannya sendiri. Harry benar-benar tidak bisa menghubungkan gambar penuh gurat-gurat biru dan bercak-bercak hijau pada peta dengan alam yang ia lihat di sekitarnya. Harry benar-benar kehilangan orientasi.
“Bagaimana?” Baby Margaretha mulai lagi. Semontok apapun dia, tapi kalau mendesak terus seperti ini jadinya menjengkelkan juga.
Harry merasakan tekanan memuncak di tengah dahinya, sudah megang nggak boleh, sekarang malah dicereweti. Suara cempreng Baby bagai mengebor dalam kepalanya, jika terus begini, otak Harry bisa pecah. “Kalau aku tahu kita dimana, kita sudah ada di tempat lain dari tadi.” tukasnya geram.
“Apa sih maksudmu?” tanya Baby tanpa merasa bersalah.
“Maksudku, kalau kau bisa diam satu menit saja, mungkin aku bisa memperkirakan dimana kita berada dan membawa kita ke tempat yang seharusnya kita datangi.”
“Seharusnya kau jangan keluar dari jalan raya,” kata Baby lagi.
“Aku keluar dari jalan raya karena kaubilang kau bosan. Kau ingin melihat pemandangan.” jawab Harry.
“Di sini tidak ada pemandangan,” Baby menukas.
“Ya, selamat datang di hutan. Pohon dan hewan-hewan buas adalah hal terbaik yang bisa kau saksikan disini.” ketus Harry tak mau kalah.
“Seharusnya kau tidak mendengarkan aku.” suara Baby meninggi.
“Kau tidak pernah memberiku banyak pilihan.” Harry mengaku.
“Jangan bicara seperti itu kepadaku.” Baby menjerit.
Harry bisa mendengar nada terluka dalam suaranya, dan tahu dia harus bermanis-manis untuk mendapatkan kembali kasih sayang perempuan itu jika masih ingin memperluas cakrawala seksualnya bersama Baby Margaretha. Maka sambil tersenyum, diapun mengangsurkan tangan ke jendela mobil dan menyentuh lembut kulit lembab Baby dengan telapak tangannya.
Baby memalingkan wajah, mengirim sinyal yang amat jelas; dia tidak mengijinkan tangan Harry menyentuh wajahnya, bahkan kemungkinan besar sebagian besar kulit tubuhnya juga akan tertutup bagi Harry, kecuali laki-laki itu mau mengaku salah.
“Sayang, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu.” kata Harry.
Baby mencolek air mata bohongan dengan ujung jarinya. “Yah, seharusnya kau lebih hati-hati kalau bicara. Kadang-kadang kau bisa begitu kejam, Harry.”
“Maaf,” Harry mengulang. Dia bersandar di pintu dan mencium bibir Baby, melumatnya dengan lembut dan mencoba untuk memasukkan lidahnya saat Baby berbisik...
“Harry, ada orang datang!”
Harry menengok, dan memang benar, ada awan debu dan asap yang menuju ke tempat mereka. Dia segera menjauh dari Baby, dan sambil memegang peta di tangan, melambai ke arah mobil yang terlihat bergerak mendekat. Saat mobil itu semakin dekat dan debu mulai menghilang, Harry bisa melihat kalau itu adalah sebuah truk tua, paling sedikit usianya tiga puluh tahun. Di belakang kemudi, duduk anak muda dengan rambut lurus belah kanan yang menutupi salah satu matanya. Anak itu berhenti dan mengusap rambutnya ke belakang dengan jarinya saat menatap Harry.
Di belakangnya, Harry mendengar Baby bersiul tanda setuju. Anak itu memang tampan, bahkan mungkin sedikit terlalu ‘cantik’ karena rambut lurusnya itu, tapi tetap anak muda yang menawan. Harry bertanya-tanya apakah dia sekarang sudah jadi homo, lalu memutuskan kekhawatirannya menjadi homo mungkin menandakan dia bukan homo. Tetap saja, pikir Harry, anak itu sebaiknya tidak melakukan pelanggaran hukum, sebab kalau dia sampai masuk penjara, teman satu selnya tak akan perlu membeli rokok lagi.
“Kau tersesat?” tanya anak itu. Suaranya agak tinggi, hampir melengking.
Harry berjalan ke arahnya dan melihat anak itu ternyata lebih tua dari yang terlihat sebelumnya. Paling sedikit awal dua puluhan, tapi dia memiliki suara bocah tiga belas tahun yang menunggu sesuatu terjadi di bawah pusarnya. Dasar orang kampung, pikir Harry.
“Aku salah belok di suatu tempat di jalan sana,” katanya kemudian, tidak benar-benar mengakui kalau sudah tersesat, juga tidak mengatakan dia tahu di mana dia berada sekarang. Ini prinsip lelaki.
“Emang mau kemana?” tanya anak itu dengan suaranya yang melengking.
Apa-apaan itu? Emang mau kemana? Siapa yang bicara seperti itu di jaman seperti ini?
“Kami mau ke kota.” jawab Harry.
“Kau jauh sekali dari kota. Itu di bagian lain daerah ini.” kata anak itu.
“Aku tahu, kami memang sengaja tidak terburu-buru.” Harry berkilah.
“Sedang berlibur?” tanya anak itu.
“Bisnis.” jawab Harry.
“Apa pekerjaanmu?” anak itu bertanya lagi.
“Aku menjual asuransi.” sahut Harry.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Kenapa apa?” Harry mulai tak sabar.
“Kenapa kau menjual asuransi?” tanya anak itu.
Alis Harry berkerut. Ini dia. Anak ini jelas orang kampung tolol yang mondar-mandir di jalan desa dengan truk tua bobrok mencari orang-orang yang bisa diganggu. Dia belum dua jam tersesat, tapi akhir pekan ini sudah berubah menjadi menyebalkan.
“Orang butuh asuransi.” jawab Harry pendek.
“Kenapa?” tanya anak itu lagi, tetap dengan ketololannya.
“Yeah, misalnya sesuatu terjadi pada mereka. Misalnya trukmu tabrakan, apa yang akan kau lakukan?” Harry bertanya balik.
“Ini bukan trukku.” jawab anak itu.
Ya Tuhan, Harry membatin. “Oke, anggap saja kau menabrakkannya dan pemilik truk meminta kau bertanggung jawab.” sela Harry.
“Aku akan memperbaikinya.” kata anak itu.
“Seandainya rusak parah sampai tak bisa diperbaiki lagi?” kejar Harry.
“Tak ada yang tak bisa kuperbaiki.” jawab anak itu sombong.
Harry langsung menyapukan tangan ke wajah dnegan frustasi. “Di sini ada angin ribut kan?” tanyanya dengan ketus.
“Tentu saja,” jawab anak itu.
“Bagaimana kalau rumahmu hancur?” tanya Harry.
Anak itu memikirkannya, kemudian mengangguk. “Itu kalau aku punya rumah,” katanya sambil tersenyum, lalu menghidupkan mobilnya lagi.
Harry mengerang putus asa. Di dalam mobil, Baby tersenyum. Jarang-jarang ia melihat Harry kalah berdebat, apalagi melawan anak kecil dari desa macam dia.
“Ikuti aku,” anak itu memberitahu Harry. “Kuantar kau ke tempat yang harus kautuju.”
Harry tersenyum lega dan bergegas berlari kecil ke mobilnya. “Kita akan mengikuti dia,” katanya pada Baby Margaretha.
“Oke saja buatku,” jawab Baby pendek.
“Tapi sebelumnya, kembalikan dulu lidahmu ke dalam mulut,” sergah Harry. “Air liurmu sampai menetes di dagu.”
Baby tertawa menanggapi kedongkolan Harry.
Mereka mengikuti truk yang dikemudikan bocah itu sejauh lima kilometer, sebelum Harry mulai cemas. “Dia mau membawa kita kemana?” tanyanya.
“Dia mungkin tahu jalan pintas.” jawab Baby.
“Jalan pintas kemana? Ke neraka?” ketus Harry menanggapi jalan hutan yang semakin licin dan curam.
“Harry, ini daerah anak itu. Dia lebih tahu daripada kita. Tenanglah.” Baby mencoba untuk tersenyum, padahal dalam hati ia mulai sedikit takut juga.
“Menurutku anak itu idiot.” kata Harry. “Dia tidak tahu apa itu asuransi.”
“Namanya juga orang desa, kau harus bersabar.” sahut Baby. “Eh,mau kemana dia?” tanyanya kemudian.
Di depan mereka, truk tua berbelok ke arah kanan dan berhenti di sebuah gudang tua. Anak itu turun dari mobil dan berjalan menaiki tangga ke pintu, lalu membukanya dan menghilang ke dalam.
“Aku merasa ada yang tidak beres,” kata Harry, tapi dia tetap menyusuri jalan masuk hingga tiba di belakang truk.
Tempat itu sepertinya tidak berpenghuni; pohon-pohon memagari halaman, tapi tidak jelas apa gunanya. Tidak ada bangunan lain di dekat situ, yang ada hanya pohon dan burung, serta kesunyian. Ada gubuk di pojok kanan, dan Harry melihat sepeda motor berkarat teronggok di pintunya yang terbuka. Ban-bannya sudah kempis dan setang stirnya patah.
Harry memandang sekilas hutan liar di balik pepohonan, terlihat sangat menakutkan. Tempat ini begitu sepi; tak ada binatang, apalagi ayam. Satu-satunya yang tampak familier cuma sesemakan dan rumput liar yang tumbuh sembarangan di bagian depan gudang. Begitu tak terurusnya hingga membuat gudang itu bagai menangis seram.
Harry membuka pintu mobil dan memanggil pemandu mereka, “Hei, Nak! Kau dimana?”
Tidak ada sahutan.
Harry mencoba untuk memanggil sekali lagi, “Hei, Nak! Apa yang kita cari disini?” teriaknya.
Tetap tidak ada sahutan.
Di sebelah Harry, Baby mulai merengek menjengkelkan, “Ayo kita pergi. Aku takut!” kata perempuan cantik itu.
“Diam,” harry membentak. Dia yang selama ini menganggap dirinya penyabar, kini tak bisa lagi menahan emosi. “Biarkan aku berpikir. Brengsek!” umpatnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Baby langsung mengkerut di kursinya.
Harry turun dari mobil dan berjalan ke rumah itu dengan menghentakkan kaki. Di belakangnya, dia mendengar Baby menyuruhnya menunggu. Harry mengabaikannya. Dia harus membuat perhitungan dengan bocah kurang ajar itu; bukannya menuntun mereka kembali ke jalan raya, anak itu malah menyesatkannya kemari. Sungguh tidak bisa diterima.
Harry sampai di pintu dan mengintip ke dalam gudang. Ruangan itu gelap, semua tirainya ditutup. Dia bisa melihat siluet bentuk kursi dan TV tua di sudut, selebihnya tidak ada apa-apa. Di kiri Harry, ada tangga mengarah ke loteng. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaaan anak itu.
Harry melangkah ke dalam, dan hidungnya mengkerut. Ada yang berbau busuk disini, pikirnya. Samar dia juga seperti mendengar dengungan lalat.
“Harry?” teriak Baby, nada merengek kembali muncur dalam suaranya. Namun Harry hampir tidak menyadarinya, ia terlalu berkonsentrasi pada sesuatu yang aneh yang ada di hadapannya. Entah apakah itu, Harry hanya merasa takut dan tidak enak hati.
“Diam di situ!” Harry menyahut, sekedar agar Baby terdiam. “Dan kunci semua pintu mobil.” tambahnya.
“Apa...?!” teriak Baby.
“Demi Tuhan, lakukan saja!” hardik Harry tak sabar.
Baby tak bersuara lagi, tapi Harry mendengar suara bantingan ketika Baby mengunci semua pintu. Di depan Harry kini cuma ada kegelapan. Gudang ini terasa sunyi, hanya ada bunyi serangga yang terus bergerak-gerak, yang tidak bisa dilihat oleh Harry.
Harry mengakui kalau dirinya bukan lelaki pemberani, tapi dia bisa bertindak nekad kalau diperlukan. Maka iapun masuk ke dalam gudang meski dalam hati merasa sangat gugup. Nalurinya menyurunya keluar dari tempat ini secepatnya, tapi si bocah yang menghilang menahan ia memutar langkah. Harry harus menemukan anak itu dan membuat perhitungan karena sudah berani menggoda dan bertindak kurang ajar kepadanya.
Semakin ke dalam, bangnan itu semakin berbau daging mati, dan semakin banyak lalat beterbangan. Tempat apa ini? pikir Harry penuh rasa curiga, sekaligus juga penasaran. Sama sekali tidak menyadari kalau rasa ingin tahu adalah hal yang buruk.
Ia melangkah perlahan menyeberngi ruang depan, mengernyit setiap kali papan kayu yang ia injak berkeriut-keriut. Di ujung rungan, ada sebuah lemari kuno dengan kaca cermin yang sudah buram. Sepertinya lalat-lalat itu berasal dari sana. Harry berniat untuk membukanya saat sudut matanya menangkap sebuah sosok berwarna putih berdiri tak jauh di belakangnya.
Menjerit kaget, Harry segera memutar tubuh dan menyerang sebuah tirai yang menggantung diam menutupi sebuah pintu. Sebuah benda yang tergantung di pintu, entah apa, terkena pukulannya dan jatuh berkeping-keping di lantai. Sebuah tumpukan tulang! Mungkin tulang ayam, kalau dilihat dari bentuknya yang kecil. Tapi kenapa orang mengoleksi tulang ayam?
“Brengsek!” sambil mengumpat lega, Harry segera mengintip pintu rahasia yang baru ia temukan. Sekawanan semut lari kebingungan saat terinjak alas sepatunya. Di suatu tempat, seekor tikus mencicit kabur sambil menggigit sesuatu. Potongan jari?
Di dalam, Harry menemukan tumpukan daging yang dikemas dalam kantong-kantong berisi garam. Banyak sekali. Siapapun yang menaruhnya ingin agar daging itu tidak cepat membusuk. Harry mengambil satu dan membukanya.
“Ya Tuhan!” bisik Harry, dan langsung muntah begitu tahu apa yang ada dalam genggamannya. Dia melompat mundur dan lalu berbalik, berniat untuk memberi tahu Baby agar lekas meninggalkan tempat ini.
Tapi Harry sama sekali tidak bisa melakukan itu!
***
Baby tersenyum saat anak itu keluar. “Hei, dimana pacarku?” dia bertanya sambil memberikan senyumnya yang paling manis, juga sedikit bonus belahan payudaranya yang padat membusung.
Anak itu meliriknya sekilas, “Dia ada di dalam, aku disuruh untuk menyusulmu.” katanya.
Baby segera membuka pintu mobil, segera lupa dengan pesan Harry tadi begitu melihat ketampanan anak itu. “Ayo, aku juga sudah bosan berada di mobil terus-terusan.” dia menggandeng lengan anak, yang meski sedikit kaget tapi tidak menolaknya.
Di dalam, Baby tercenung menatap bagian dalam gudang yang gelap gulita. Matanya terasa pedih, masih belum bisa menyesuaikan diri. “D-dimana Harry?” tanyanya dengan mata menyipit.
“Dia di atas,” kata anak itu, jarinya menunjuk tangga kecil yang ada di sebelah kiri mereka.
Baby segera mengikuti anak itu menaikinya. Di puncak tangga, dilihatnya ada sebuah kamar, tapi kosong, sama sekali tidak ada keberadaan Harry disana. Tepat di tengah, Baby melihat ada sebuah ranjang. Spreinya yang lusuh tampak bergumpal bekas ditiduri. Baby menatap bocah itu.
“Jangan bercanda ya, katakan dimana pacarku!” ia menatap tajam
Anak itu tertawa, “Aku yakin, kamu lebih suka dia tidak ada, benar kan?” tebaknya.
Baby tergagap, “Ah, t-tidak. T-tentu saja tidak!”
“Apakah kamu tidak suka cuma berduaan denganku disini?” kata anak itu lagi. Sinar polos dari matanya sudah sepenuhnya hilang, berganti dengan sorot mata dewasa yang penuh dengan pengertian.
Baby bergidik, sekaligus juga penasaran. “Ehm, aku...”
Ucapannya terpotong saat bocah itu mendekat dan langsung melumat bibirnya dengan begitu rakus. Tangannya dengan nakal membelai buah pantat Baby, meremasnya pelan, dan terus naik hingga ke punggung dan lalu hinggap di payudara Baby yang bulat besar, dan mengusapnya lembut hingga membuat Baby merintih kegelian tak lama kemudian.
“Ah, jangan...” desahnya pelan dengan mulut terus mengimbangi lumatan si bocah yang semakin rakus dan tajam. Lidah mereka sudah saling bertaut dengan bibir saling menghentak-hentak menghisap satu sama lain. Air liur mereka berleleran banyak sekali, yang makin menambah nikmat ciuman itu.
Baby bergidik. Ia memang menginginkan ini, bercinta dengan si bocah, merasakan kehangatan tubuh dan kejantanannya. Tapi haruskah saat Harry berada di dekat mereka, dimanapun laki-laki itu berada karena Baby melihatnya masuk kesini tadi. Pelan tangannya mendorong, ingin memisahkan pelukan si bocah, tapi lumatan anak itu begitu kuat hingga mustahil bagi Baby untuk melepaskannya. Bahkan yang ada ia malah pasrah saja saat didorong pelan-pelan hingga rebah ke ranjang.
“Harry...” Baby berbisik, mencoba mencari tahu keberadaan sang pacar untuk yang terakhir kali.
“Jangan risaukan dia,” kata anak itu. “Kita aman sekarang, bebas untuk melakukan apa saja.” bisiknya sambil membuka kancing baju Baby satu persatu, sehingga tersingkaplah dua buah payudara yang padat, bulat, kenyal, bersih dan ranum milik Baby. Ia juga menciumi leher Baby dengan sangat lembut, lalu ke pundaknya, terus bergesar turun ke sebelah atas gundukan payudaranya.
“Arghh...” Baby semakin menengadahkan kepala, punggungnya juga semakin melengkung ke belakang. Ingatannya tentang Harry musnah sudah. Yang ada kedua tangannya sudah memegangi kepala si bocah dan sedikit meremasi rambutnya, tandanya semakin menikmati permainan itu.
Anak itu memeluk tubuh mobtok Baby agar tidak terjerembab ke belakang, tapi bibirnya terus mengusap daerah leher dan di atas gundukan payudara perempuan cantik itu. Ia seperti sengaja berlama-lama saat menyentuh payudara Baby untuk semakin memancing gairahnya, terutama puting Baby yang sudah tegak mengacung.
“Uughh... sshh...” mulut Baby berdesis kenikmatan. Bajunya yang masih menempel di pundak, perlahan-lahan dilepaskan oleh si bocah, sehingga pemandangan kemulusan dan kemolekan tubuh Baby terpampang jelas di sore yang tak berangin itu, makin menambah kesan vulgar di mata si bocah.
Sekali lagi tangan anak muda itu meremas tepian payudara Baby, tampak bahwa gundukan daging segar itu sudah mulai sedikit mengeras. Ia mengusap dari sebelah bawah dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih mendekap punggung Baby untuk menjaganya agar tidak terjatuh.
“Auh,” Baby merintih saat mulut mungil si bocah mulai menciumi gundukan payudaranya, lalu berkeliling mengitari putingnya, sambil tangan kanannya terus mengusap-usap bagian luar bulatannya dengan gaya sedikit meremas. Baby memegang erat pundak anak itu, terlihat semakin gemas, meminta untuk dicium lebih kuat lagi.
Si bocah yang mengerti, segera mengulum puting Baby dengan lembut. Dan hasilnya, “Aauhh... uuhh... sshh...” Baby langsung melenguh-lenguh dan mendesis-desis keenakan, seakan-akan apa yang dinantikannya dari tadi telah tiba kini. Meskipun kondisinya sangat terangsang, tapi lenguhan itu tetap lembut dan terdengar lirih.
Anak muda itu terus mengulum puting Baby, ia menggesek-gesek benda mungil itu dengan menggunakan lidahnya, sambil sesekali menggigit-gigitnya lembut. Sementara tangannya tetap aktif meremas-remas gundukan payudara Baby yang bulat besar penuh nafsu.
Setelah puas mempermainkan yang kiri dan kanan secara bergantian, anak itu melepaskan buah dada Baby dari bibirnya. Kini mulutnya bergeser ke bawah menuju ke seputar perut Baby yang ramping datar dan mengeluarkan aroma parfum yang lembut semerbak.
“Hah... hah...” Baby kelihatan menghela napas lega, nafasnya makin kelihatan berat dan memburu. Bocah itu sekarang asyik menciumi perutnya dengan agak sedikit jongkok. Ia mencium pusar Baby dan menjilatinya dengan menggunakan lidah. Baby jadi menggelinjang kegelian karenanya, ia usap-usap rambut anak itu dengan tidak beraturan; terkadang meremas, menjambak, atau bahkan cuma menarik ringan, sehingga rambut belah pinggir milik anak itu jadi sangat kacau karenanya.
Puas dengan permainan perut, anak muda itu langsung memelorotkan celana panjang ketat yang dipakai oleh Baby, sekaligus juga celana dalamnya. Sekarang tampak di hadapannya seorang perempuan cantik yang putih, bersih, dan sangat seksi sekali, dengan kaki dan betis yang aduhai indahnya, terbujur pasrah tepat di hadapannya. Dua buah dada yang sangat besar, namun tetap bulat dan padat, makin menambah kesempurnaan itu.
Baby telentang di atas ranjang, sementara si bocah masih berdiri. Ia mencium bibir Baby sekali lagi dengan lembut, mereka saling melumat untuk sejenak saat tangan anak itu kembali hinggap di atas bukit payudara Baby dan mengusap-usapnya dengan begitu lembut, seperti takut kalau benda itu akan pecah dan meledak berkeping-keping.
Baby merangkul leher anak itu dengan erat, kedua kakinya bergerak-gerak dengan halus pertanda sangat terangsang. Kini usapan tangan anak itu sudah turun ke perutnya, ia mengusap-usap sebentar perut Baby sebelum bergerak turun makin ke bawah, mengusap kedua paha Baby yang sintal dan putih mulus. Paha yang sedari menarik nafsu binatangnya.
Dengan mulut masih tetap saling memagut, erangan-erangan kecil mulai keluar dari mulut nakal Baby, “Ughh... ughh... emm... ehm...” rintihnya.
Tangan si bocah masih setia bergerak di sekitar paha Baby, mulai mengusap-usap di sekitar bibir kemaluan perempuan cantik itu. Dengan perlahan kedua kaki Baby mengembang, memberi kesempatan bagi tangan si bocah untuk mengelus lubang kemaluannya. Anak itu langsung membelainya dengan dua jari, ia elus-elus selangkangan Baby yang licin bersih tanpa bulu itu naik turun begitu cepat.
Baby yang mendapat serangan seperti itu, kontan melenguh keenakan. “Uuhhghh!” Gerakan kakinya semakin tidak teratur, dan akhirnya... “S-sudah... aku tidak tahan!” ia menarik tangan anak itu sebagai bertanda agar si bocah segera menaiki tubuhnya.
Anak itu pun menarik kedua kaki Baby ke arah tepian ranjang sehingga kedua
kakinya terjuntai, kemudian ia membuka celanya dengan tidak sabar. Baby sempat memandangi kemaluan anak itu; seperti juga wajahnya, kejantanan anak itu ternyata juga imut-imut -meski ukurannya sangat besar dan panjang- ujungnya memerah seperti bibir gadis yang memakai lipstik. Sungguh sangat menarik sekali.
Tanpa berbicara, bocah itu segera menggesekkan batang kemaluannya pelan-pelan ke bibir kemaluan Baby, membuat Baby jadi mengerang lagi, “Uhh... ayo cepat masukkan!” pintanya tanpa malu-malu. Pinggulnya bergerak naik turun, meminta sebuah tusukan.
Anak itupun mendorong, ia masukkan dengan pelan batang kemaluannya ke liang kemaluan Baby. Tapi belum sampai habis masuk semua, ia menarik kembali dan lalu dimasukkan lagi. Gerakan itu ia lakukan secara terus menerus hingga erangan yang keluar dari mulut manis Baby jadi semakin tidak beraturan.
“Ahh... s-sudah! J-jangan menggodaku seperti itu... tusuk yang dalam!” pintanya dengan mata meredup sayu, terlihat begitu bergairah. Erangan yang tidak beraturan itu cuma bisa berarti satu hal, yaitu Baby sangat menikmati persetubuhan itu.
Begitu juga dengan si bocah. Sambil terus menggenjot pelan batang penisnya, kedua tangannya dengan leluasa meremas bongkahan susu Baby yang bergerak-gerak naik turun seirama tusukannya. Kadang-kadang tangannya juga mengusap wajah dan pipi Baby, juga lehernya. Ia elus-elus leher jenjang itu berkali-kali, seperti ingin membersihkan apapun yang menempel di situ.
Baby yang sama sekali tidak merasa curiga, kini mengatupkan kedua pahanya dan dililitkan ke pinggang si bocah. Kedua tangannya juga mendekap tubuh anak itu erat-erat. Hanya mulutnya yang sedikit menganga dan mendesis, menandakan Baby sudah sangat dekat dengan titik puncaknya.
“Uuh... a-aku sampai... uuhhff!!” rintihnya penuh kenikmatan. Cairannya menyembur deras, sederas darah yang tiba-tiba muncrat dari batang lehernya. Baby sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Yang ia tahu cuma memandang ke samping, kemudian ke lantai, lalu ke langit-langit ruangan; semuanya jungkir balik dalam gambar-gambar campur aduk tak karuan yang seakan-akan berlangsung selamanya, padahal cuma beberapa detik saja.
Kepala Baby terus menggelinding sampai terantuk kaki meja. Disana, matanya menatap kosong ekspresi kaget di sorot mata Harry yang sama-sama terpenggal. Kepala keduanya bersanding seperti malam-malam dingin yang sering mereka lalui bersama, bedanya; kali ini mereka sama-sama tak bernyawa.
Si bocah turun dari ranjang dan menumpahkan spermanya yang kental di mulut Baby, dia mengoleskan cairan putih itu hingga bercampur dengan darah Baby yang merah pekat. Selanjutnya ia menenteng kepala-kepala itu dan diletakkannya di dalam lemari di lantai bawah, bercampur dengan deretan kepala busuk yang sudah terlebih dahulu ada, beberapa bahkan sudah menjadi tengkorak hingga tak bisa dikenali lagi. Sementara tubuh mereka, dipotongnya menjadi beberapa bagian, lalu dibungkus dengan plastik berisi garam, dan diletakkan agak di sebelah kiri dari tumpukan yang sudah membukit.
Tanpa perlu repot-repot mencuci tangannya yang belepotan darah, anak muda itu kembali menaiki truknya, meninggalkan gudang tua miliknya, bersiap untuk mencari korban baru lagi.
“Kau sudah tahu kita dimana?” tanya seorang wanita cantik berdada besar dari dalam mobil, nada suaranya merengek sedikit manja.
Begitulah, Harry tidak sendirian. Ada Baby Margaretha bersamanya, pacarnya. Perempuan itu memiliki semua yang dapat diimpikan oleh lelaki di atas ranjang, bahkan lebih dari itu (Baby bisa melakukan apapun imajinasi pria begitu punggungnya menyentuh sprei). Wanita itu sekarang duduk di kursi penumpang, mengenakan kacamata gelap, satu siku bertengger di jendela yang terbuka untuk memamerkan payudaranya yang membusung indah pada Harry.
Harry langsung berhenti mempelajari peta begitu melihatnya. Dia meremas-remas payudara Baby sebentar sebelum wanita itu menepisnya tak lama kemudian. “Temukan dulu dimana kita berada, baru kau boleh memegang punyaku.” katanya ketus.
Harry segera menarik tangannya dan mengalihkan perhatiannya lagi pada peta. Dia bukan pembaca yang handal, tapi kenyataan itu lebih suka disimpannya sendiri. Harry benar-benar tidak bisa menghubungkan gambar penuh gurat-gurat biru dan bercak-bercak hijau pada peta dengan alam yang ia lihat di sekitarnya. Harry benar-benar kehilangan orientasi.
“Bagaimana?” Baby Margaretha mulai lagi. Semontok apapun dia, tapi kalau mendesak terus seperti ini jadinya menjengkelkan juga.
Harry merasakan tekanan memuncak di tengah dahinya, sudah megang nggak boleh, sekarang malah dicereweti. Suara cempreng Baby bagai mengebor dalam kepalanya, jika terus begini, otak Harry bisa pecah. “Kalau aku tahu kita dimana, kita sudah ada di tempat lain dari tadi.” tukasnya geram.
“Apa sih maksudmu?” tanya Baby tanpa merasa bersalah.
“Maksudku, kalau kau bisa diam satu menit saja, mungkin aku bisa memperkirakan dimana kita berada dan membawa kita ke tempat yang seharusnya kita datangi.”
“Seharusnya kau jangan keluar dari jalan raya,” kata Baby lagi.
“Aku keluar dari jalan raya karena kaubilang kau bosan. Kau ingin melihat pemandangan.” jawab Harry.
“Di sini tidak ada pemandangan,” Baby menukas.
“Ya, selamat datang di hutan. Pohon dan hewan-hewan buas adalah hal terbaik yang bisa kau saksikan disini.” ketus Harry tak mau kalah.
“Seharusnya kau tidak mendengarkan aku.” suara Baby meninggi.
“Kau tidak pernah memberiku banyak pilihan.” Harry mengaku.
“Jangan bicara seperti itu kepadaku.” Baby menjerit.
Harry bisa mendengar nada terluka dalam suaranya, dan tahu dia harus bermanis-manis untuk mendapatkan kembali kasih sayang perempuan itu jika masih ingin memperluas cakrawala seksualnya bersama Baby Margaretha. Maka sambil tersenyum, diapun mengangsurkan tangan ke jendela mobil dan menyentuh lembut kulit lembab Baby dengan telapak tangannya.
Baby memalingkan wajah, mengirim sinyal yang amat jelas; dia tidak mengijinkan tangan Harry menyentuh wajahnya, bahkan kemungkinan besar sebagian besar kulit tubuhnya juga akan tertutup bagi Harry, kecuali laki-laki itu mau mengaku salah.
“Sayang, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu.” kata Harry.
Baby mencolek air mata bohongan dengan ujung jarinya. “Yah, seharusnya kau lebih hati-hati kalau bicara. Kadang-kadang kau bisa begitu kejam, Harry.”
“Maaf,” Harry mengulang. Dia bersandar di pintu dan mencium bibir Baby, melumatnya dengan lembut dan mencoba untuk memasukkan lidahnya saat Baby berbisik...
“Harry, ada orang datang!”
Harry menengok, dan memang benar, ada awan debu dan asap yang menuju ke tempat mereka. Dia segera menjauh dari Baby, dan sambil memegang peta di tangan, melambai ke arah mobil yang terlihat bergerak mendekat. Saat mobil itu semakin dekat dan debu mulai menghilang, Harry bisa melihat kalau itu adalah sebuah truk tua, paling sedikit usianya tiga puluh tahun. Di belakang kemudi, duduk anak muda dengan rambut lurus belah kanan yang menutupi salah satu matanya. Anak itu berhenti dan mengusap rambutnya ke belakang dengan jarinya saat menatap Harry.
Di belakangnya, Harry mendengar Baby bersiul tanda setuju. Anak itu memang tampan, bahkan mungkin sedikit terlalu ‘cantik’ karena rambut lurusnya itu, tapi tetap anak muda yang menawan. Harry bertanya-tanya apakah dia sekarang sudah jadi homo, lalu memutuskan kekhawatirannya menjadi homo mungkin menandakan dia bukan homo. Tetap saja, pikir Harry, anak itu sebaiknya tidak melakukan pelanggaran hukum, sebab kalau dia sampai masuk penjara, teman satu selnya tak akan perlu membeli rokok lagi.
“Kau tersesat?” tanya anak itu. Suaranya agak tinggi, hampir melengking.
Harry berjalan ke arahnya dan melihat anak itu ternyata lebih tua dari yang terlihat sebelumnya. Paling sedikit awal dua puluhan, tapi dia memiliki suara bocah tiga belas tahun yang menunggu sesuatu terjadi di bawah pusarnya. Dasar orang kampung, pikir Harry.
“Aku salah belok di suatu tempat di jalan sana,” katanya kemudian, tidak benar-benar mengakui kalau sudah tersesat, juga tidak mengatakan dia tahu di mana dia berada sekarang. Ini prinsip lelaki.
“Emang mau kemana?” tanya anak itu dengan suaranya yang melengking.
Apa-apaan itu? Emang mau kemana? Siapa yang bicara seperti itu di jaman seperti ini?
“Kami mau ke kota.” jawab Harry.
“Kau jauh sekali dari kota. Itu di bagian lain daerah ini.” kata anak itu.
“Aku tahu, kami memang sengaja tidak terburu-buru.” Harry berkilah.
“Sedang berlibur?” tanya anak itu.
“Bisnis.” jawab Harry.
“Apa pekerjaanmu?” anak itu bertanya lagi.
“Aku menjual asuransi.” sahut Harry.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Kenapa apa?” Harry mulai tak sabar.
“Kenapa kau menjual asuransi?” tanya anak itu.
Alis Harry berkerut. Ini dia. Anak ini jelas orang kampung tolol yang mondar-mandir di jalan desa dengan truk tua bobrok mencari orang-orang yang bisa diganggu. Dia belum dua jam tersesat, tapi akhir pekan ini sudah berubah menjadi menyebalkan.
“Orang butuh asuransi.” jawab Harry pendek.
“Kenapa?” tanya anak itu lagi, tetap dengan ketololannya.
“Yeah, misalnya sesuatu terjadi pada mereka. Misalnya trukmu tabrakan, apa yang akan kau lakukan?” Harry bertanya balik.
“Ini bukan trukku.” jawab anak itu.
Ya Tuhan, Harry membatin. “Oke, anggap saja kau menabrakkannya dan pemilik truk meminta kau bertanggung jawab.” sela Harry.
“Aku akan memperbaikinya.” kata anak itu.
“Seandainya rusak parah sampai tak bisa diperbaiki lagi?” kejar Harry.
“Tak ada yang tak bisa kuperbaiki.” jawab anak itu sombong.
Harry langsung menyapukan tangan ke wajah dnegan frustasi. “Di sini ada angin ribut kan?” tanyanya dengan ketus.
“Tentu saja,” jawab anak itu.
“Bagaimana kalau rumahmu hancur?” tanya Harry.
Anak itu memikirkannya, kemudian mengangguk. “Itu kalau aku punya rumah,” katanya sambil tersenyum, lalu menghidupkan mobilnya lagi.
Harry mengerang putus asa. Di dalam mobil, Baby tersenyum. Jarang-jarang ia melihat Harry kalah berdebat, apalagi melawan anak kecil dari desa macam dia.
“Ikuti aku,” anak itu memberitahu Harry. “Kuantar kau ke tempat yang harus kautuju.”
Harry tersenyum lega dan bergegas berlari kecil ke mobilnya. “Kita akan mengikuti dia,” katanya pada Baby Margaretha.
“Oke saja buatku,” jawab Baby pendek.
“Tapi sebelumnya, kembalikan dulu lidahmu ke dalam mulut,” sergah Harry. “Air liurmu sampai menetes di dagu.”
Baby tertawa menanggapi kedongkolan Harry.
Mereka mengikuti truk yang dikemudikan bocah itu sejauh lima kilometer, sebelum Harry mulai cemas. “Dia mau membawa kita kemana?” tanyanya.
“Dia mungkin tahu jalan pintas.” jawab Baby.
“Jalan pintas kemana? Ke neraka?” ketus Harry menanggapi jalan hutan yang semakin licin dan curam.
“Harry, ini daerah anak itu. Dia lebih tahu daripada kita. Tenanglah.” Baby mencoba untuk tersenyum, padahal dalam hati ia mulai sedikit takut juga.
“Menurutku anak itu idiot.” kata Harry. “Dia tidak tahu apa itu asuransi.”
“Namanya juga orang desa, kau harus bersabar.” sahut Baby. “Eh,mau kemana dia?” tanyanya kemudian.
Di depan mereka, truk tua berbelok ke arah kanan dan berhenti di sebuah gudang tua. Anak itu turun dari mobil dan berjalan menaiki tangga ke pintu, lalu membukanya dan menghilang ke dalam.
“Aku merasa ada yang tidak beres,” kata Harry, tapi dia tetap menyusuri jalan masuk hingga tiba di belakang truk.
Tempat itu sepertinya tidak berpenghuni; pohon-pohon memagari halaman, tapi tidak jelas apa gunanya. Tidak ada bangunan lain di dekat situ, yang ada hanya pohon dan burung, serta kesunyian. Ada gubuk di pojok kanan, dan Harry melihat sepeda motor berkarat teronggok di pintunya yang terbuka. Ban-bannya sudah kempis dan setang stirnya patah.
Harry memandang sekilas hutan liar di balik pepohonan, terlihat sangat menakutkan. Tempat ini begitu sepi; tak ada binatang, apalagi ayam. Satu-satunya yang tampak familier cuma sesemakan dan rumput liar yang tumbuh sembarangan di bagian depan gudang. Begitu tak terurusnya hingga membuat gudang itu bagai menangis seram.
Harry membuka pintu mobil dan memanggil pemandu mereka, “Hei, Nak! Kau dimana?”
Tidak ada sahutan.
Harry mencoba untuk memanggil sekali lagi, “Hei, Nak! Apa yang kita cari disini?” teriaknya.
Tetap tidak ada sahutan.
Di sebelah Harry, Baby mulai merengek menjengkelkan, “Ayo kita pergi. Aku takut!” kata perempuan cantik itu.
“Diam,” harry membentak. Dia yang selama ini menganggap dirinya penyabar, kini tak bisa lagi menahan emosi. “Biarkan aku berpikir. Brengsek!” umpatnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Baby langsung mengkerut di kursinya.
Harry turun dari mobil dan berjalan ke rumah itu dengan menghentakkan kaki. Di belakangnya, dia mendengar Baby menyuruhnya menunggu. Harry mengabaikannya. Dia harus membuat perhitungan dengan bocah kurang ajar itu; bukannya menuntun mereka kembali ke jalan raya, anak itu malah menyesatkannya kemari. Sungguh tidak bisa diterima.
Harry sampai di pintu dan mengintip ke dalam gudang. Ruangan itu gelap, semua tirainya ditutup. Dia bisa melihat siluet bentuk kursi dan TV tua di sudut, selebihnya tidak ada apa-apa. Di kiri Harry, ada tangga mengarah ke loteng. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaaan anak itu.
Harry melangkah ke dalam, dan hidungnya mengkerut. Ada yang berbau busuk disini, pikirnya. Samar dia juga seperti mendengar dengungan lalat.
“Harry?” teriak Baby, nada merengek kembali muncur dalam suaranya. Namun Harry hampir tidak menyadarinya, ia terlalu berkonsentrasi pada sesuatu yang aneh yang ada di hadapannya. Entah apakah itu, Harry hanya merasa takut dan tidak enak hati.
“Diam di situ!” Harry menyahut, sekedar agar Baby terdiam. “Dan kunci semua pintu mobil.” tambahnya.
“Apa...?!” teriak Baby.
“Demi Tuhan, lakukan saja!” hardik Harry tak sabar.
Baby tak bersuara lagi, tapi Harry mendengar suara bantingan ketika Baby mengunci semua pintu. Di depan Harry kini cuma ada kegelapan. Gudang ini terasa sunyi, hanya ada bunyi serangga yang terus bergerak-gerak, yang tidak bisa dilihat oleh Harry.
Harry mengakui kalau dirinya bukan lelaki pemberani, tapi dia bisa bertindak nekad kalau diperlukan. Maka iapun masuk ke dalam gudang meski dalam hati merasa sangat gugup. Nalurinya menyurunya keluar dari tempat ini secepatnya, tapi si bocah yang menghilang menahan ia memutar langkah. Harry harus menemukan anak itu dan membuat perhitungan karena sudah berani menggoda dan bertindak kurang ajar kepadanya.
Semakin ke dalam, bangnan itu semakin berbau daging mati, dan semakin banyak lalat beterbangan. Tempat apa ini? pikir Harry penuh rasa curiga, sekaligus juga penasaran. Sama sekali tidak menyadari kalau rasa ingin tahu adalah hal yang buruk.
Ia melangkah perlahan menyeberngi ruang depan, mengernyit setiap kali papan kayu yang ia injak berkeriut-keriut. Di ujung rungan, ada sebuah lemari kuno dengan kaca cermin yang sudah buram. Sepertinya lalat-lalat itu berasal dari sana. Harry berniat untuk membukanya saat sudut matanya menangkap sebuah sosok berwarna putih berdiri tak jauh di belakangnya.
Menjerit kaget, Harry segera memutar tubuh dan menyerang sebuah tirai yang menggantung diam menutupi sebuah pintu. Sebuah benda yang tergantung di pintu, entah apa, terkena pukulannya dan jatuh berkeping-keping di lantai. Sebuah tumpukan tulang! Mungkin tulang ayam, kalau dilihat dari bentuknya yang kecil. Tapi kenapa orang mengoleksi tulang ayam?
“Brengsek!” sambil mengumpat lega, Harry segera mengintip pintu rahasia yang baru ia temukan. Sekawanan semut lari kebingungan saat terinjak alas sepatunya. Di suatu tempat, seekor tikus mencicit kabur sambil menggigit sesuatu. Potongan jari?
Di dalam, Harry menemukan tumpukan daging yang dikemas dalam kantong-kantong berisi garam. Banyak sekali. Siapapun yang menaruhnya ingin agar daging itu tidak cepat membusuk. Harry mengambil satu dan membukanya.
“Ya Tuhan!” bisik Harry, dan langsung muntah begitu tahu apa yang ada dalam genggamannya. Dia melompat mundur dan lalu berbalik, berniat untuk memberi tahu Baby agar lekas meninggalkan tempat ini.
Tapi Harry sama sekali tidak bisa melakukan itu!
***
Baby tersenyum saat anak itu keluar. “Hei, dimana pacarku?” dia bertanya sambil memberikan senyumnya yang paling manis, juga sedikit bonus belahan payudaranya yang padat membusung.
Anak itu meliriknya sekilas, “Dia ada di dalam, aku disuruh untuk menyusulmu.” katanya.
Baby segera membuka pintu mobil, segera lupa dengan pesan Harry tadi begitu melihat ketampanan anak itu. “Ayo, aku juga sudah bosan berada di mobil terus-terusan.” dia menggandeng lengan anak, yang meski sedikit kaget tapi tidak menolaknya.
Di dalam, Baby tercenung menatap bagian dalam gudang yang gelap gulita. Matanya terasa pedih, masih belum bisa menyesuaikan diri. “D-dimana Harry?” tanyanya dengan mata menyipit.
“Dia di atas,” kata anak itu, jarinya menunjuk tangga kecil yang ada di sebelah kiri mereka.
Baby segera mengikuti anak itu menaikinya. Di puncak tangga, dilihatnya ada sebuah kamar, tapi kosong, sama sekali tidak ada keberadaan Harry disana. Tepat di tengah, Baby melihat ada sebuah ranjang. Spreinya yang lusuh tampak bergumpal bekas ditiduri. Baby menatap bocah itu.
“Jangan bercanda ya, katakan dimana pacarku!” ia menatap tajam
Anak itu tertawa, “Aku yakin, kamu lebih suka dia tidak ada, benar kan?” tebaknya.
Baby tergagap, “Ah, t-tidak. T-tentu saja tidak!”
“Apakah kamu tidak suka cuma berduaan denganku disini?” kata anak itu lagi. Sinar polos dari matanya sudah sepenuhnya hilang, berganti dengan sorot mata dewasa yang penuh dengan pengertian.
Baby bergidik, sekaligus juga penasaran. “Ehm, aku...”
Ucapannya terpotong saat bocah itu mendekat dan langsung melumat bibirnya dengan begitu rakus. Tangannya dengan nakal membelai buah pantat Baby, meremasnya pelan, dan terus naik hingga ke punggung dan lalu hinggap di payudara Baby yang bulat besar, dan mengusapnya lembut hingga membuat Baby merintih kegelian tak lama kemudian.
“Ah, jangan...” desahnya pelan dengan mulut terus mengimbangi lumatan si bocah yang semakin rakus dan tajam. Lidah mereka sudah saling bertaut dengan bibir saling menghentak-hentak menghisap satu sama lain. Air liur mereka berleleran banyak sekali, yang makin menambah nikmat ciuman itu.
Baby bergidik. Ia memang menginginkan ini, bercinta dengan si bocah, merasakan kehangatan tubuh dan kejantanannya. Tapi haruskah saat Harry berada di dekat mereka, dimanapun laki-laki itu berada karena Baby melihatnya masuk kesini tadi. Pelan tangannya mendorong, ingin memisahkan pelukan si bocah, tapi lumatan anak itu begitu kuat hingga mustahil bagi Baby untuk melepaskannya. Bahkan yang ada ia malah pasrah saja saat didorong pelan-pelan hingga rebah ke ranjang.
“Harry...” Baby berbisik, mencoba mencari tahu keberadaan sang pacar untuk yang terakhir kali.
“Jangan risaukan dia,” kata anak itu. “Kita aman sekarang, bebas untuk melakukan apa saja.” bisiknya sambil membuka kancing baju Baby satu persatu, sehingga tersingkaplah dua buah payudara yang padat, bulat, kenyal, bersih dan ranum milik Baby. Ia juga menciumi leher Baby dengan sangat lembut, lalu ke pundaknya, terus bergesar turun ke sebelah atas gundukan payudaranya.
“Arghh...” Baby semakin menengadahkan kepala, punggungnya juga semakin melengkung ke belakang. Ingatannya tentang Harry musnah sudah. Yang ada kedua tangannya sudah memegangi kepala si bocah dan sedikit meremasi rambutnya, tandanya semakin menikmati permainan itu.
Anak itu memeluk tubuh mobtok Baby agar tidak terjerembab ke belakang, tapi bibirnya terus mengusap daerah leher dan di atas gundukan payudara perempuan cantik itu. Ia seperti sengaja berlama-lama saat menyentuh payudara Baby untuk semakin memancing gairahnya, terutama puting Baby yang sudah tegak mengacung.
“Uughh... sshh...” mulut Baby berdesis kenikmatan. Bajunya yang masih menempel di pundak, perlahan-lahan dilepaskan oleh si bocah, sehingga pemandangan kemulusan dan kemolekan tubuh Baby terpampang jelas di sore yang tak berangin itu, makin menambah kesan vulgar di mata si bocah.
Sekali lagi tangan anak muda itu meremas tepian payudara Baby, tampak bahwa gundukan daging segar itu sudah mulai sedikit mengeras. Ia mengusap dari sebelah bawah dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih mendekap punggung Baby untuk menjaganya agar tidak terjatuh.
“Auh,” Baby merintih saat mulut mungil si bocah mulai menciumi gundukan payudaranya, lalu berkeliling mengitari putingnya, sambil tangan kanannya terus mengusap-usap bagian luar bulatannya dengan gaya sedikit meremas. Baby memegang erat pundak anak itu, terlihat semakin gemas, meminta untuk dicium lebih kuat lagi.
Si bocah yang mengerti, segera mengulum puting Baby dengan lembut. Dan hasilnya, “Aauhh... uuhh... sshh...” Baby langsung melenguh-lenguh dan mendesis-desis keenakan, seakan-akan apa yang dinantikannya dari tadi telah tiba kini. Meskipun kondisinya sangat terangsang, tapi lenguhan itu tetap lembut dan terdengar lirih.
Anak muda itu terus mengulum puting Baby, ia menggesek-gesek benda mungil itu dengan menggunakan lidahnya, sambil sesekali menggigit-gigitnya lembut. Sementara tangannya tetap aktif meremas-remas gundukan payudara Baby yang bulat besar penuh nafsu.
Setelah puas mempermainkan yang kiri dan kanan secara bergantian, anak itu melepaskan buah dada Baby dari bibirnya. Kini mulutnya bergeser ke bawah menuju ke seputar perut Baby yang ramping datar dan mengeluarkan aroma parfum yang lembut semerbak.
“Hah... hah...” Baby kelihatan menghela napas lega, nafasnya makin kelihatan berat dan memburu. Bocah itu sekarang asyik menciumi perutnya dengan agak sedikit jongkok. Ia mencium pusar Baby dan menjilatinya dengan menggunakan lidah. Baby jadi menggelinjang kegelian karenanya, ia usap-usap rambut anak itu dengan tidak beraturan; terkadang meremas, menjambak, atau bahkan cuma menarik ringan, sehingga rambut belah pinggir milik anak itu jadi sangat kacau karenanya.
Puas dengan permainan perut, anak muda itu langsung memelorotkan celana panjang ketat yang dipakai oleh Baby, sekaligus juga celana dalamnya. Sekarang tampak di hadapannya seorang perempuan cantik yang putih, bersih, dan sangat seksi sekali, dengan kaki dan betis yang aduhai indahnya, terbujur pasrah tepat di hadapannya. Dua buah dada yang sangat besar, namun tetap bulat dan padat, makin menambah kesempurnaan itu.
Baby telentang di atas ranjang, sementara si bocah masih berdiri. Ia mencium bibir Baby sekali lagi dengan lembut, mereka saling melumat untuk sejenak saat tangan anak itu kembali hinggap di atas bukit payudara Baby dan mengusap-usapnya dengan begitu lembut, seperti takut kalau benda itu akan pecah dan meledak berkeping-keping.
Baby merangkul leher anak itu dengan erat, kedua kakinya bergerak-gerak dengan halus pertanda sangat terangsang. Kini usapan tangan anak itu sudah turun ke perutnya, ia mengusap-usap sebentar perut Baby sebelum bergerak turun makin ke bawah, mengusap kedua paha Baby yang sintal dan putih mulus. Paha yang sedari menarik nafsu binatangnya.
Dengan mulut masih tetap saling memagut, erangan-erangan kecil mulai keluar dari mulut nakal Baby, “Ughh... ughh... emm... ehm...” rintihnya.
Tangan si bocah masih setia bergerak di sekitar paha Baby, mulai mengusap-usap di sekitar bibir kemaluan perempuan cantik itu. Dengan perlahan kedua kaki Baby mengembang, memberi kesempatan bagi tangan si bocah untuk mengelus lubang kemaluannya. Anak itu langsung membelainya dengan dua jari, ia elus-elus selangkangan Baby yang licin bersih tanpa bulu itu naik turun begitu cepat.
Baby yang mendapat serangan seperti itu, kontan melenguh keenakan. “Uuhhghh!” Gerakan kakinya semakin tidak teratur, dan akhirnya... “S-sudah... aku tidak tahan!” ia menarik tangan anak itu sebagai bertanda agar si bocah segera menaiki tubuhnya.
Anak itu pun menarik kedua kaki Baby ke arah tepian ranjang sehingga kedua
kakinya terjuntai, kemudian ia membuka celanya dengan tidak sabar. Baby sempat memandangi kemaluan anak itu; seperti juga wajahnya, kejantanan anak itu ternyata juga imut-imut -meski ukurannya sangat besar dan panjang- ujungnya memerah seperti bibir gadis yang memakai lipstik. Sungguh sangat menarik sekali.
Tanpa berbicara, bocah itu segera menggesekkan batang kemaluannya pelan-pelan ke bibir kemaluan Baby, membuat Baby jadi mengerang lagi, “Uhh... ayo cepat masukkan!” pintanya tanpa malu-malu. Pinggulnya bergerak naik turun, meminta sebuah tusukan.
Anak itupun mendorong, ia masukkan dengan pelan batang kemaluannya ke liang kemaluan Baby. Tapi belum sampai habis masuk semua, ia menarik kembali dan lalu dimasukkan lagi. Gerakan itu ia lakukan secara terus menerus hingga erangan yang keluar dari mulut manis Baby jadi semakin tidak beraturan.
“Ahh... s-sudah! J-jangan menggodaku seperti itu... tusuk yang dalam!” pintanya dengan mata meredup sayu, terlihat begitu bergairah. Erangan yang tidak beraturan itu cuma bisa berarti satu hal, yaitu Baby sangat menikmati persetubuhan itu.
Begitu juga dengan si bocah. Sambil terus menggenjot pelan batang penisnya, kedua tangannya dengan leluasa meremas bongkahan susu Baby yang bergerak-gerak naik turun seirama tusukannya. Kadang-kadang tangannya juga mengusap wajah dan pipi Baby, juga lehernya. Ia elus-elus leher jenjang itu berkali-kali, seperti ingin membersihkan apapun yang menempel di situ.
Baby yang sama sekali tidak merasa curiga, kini mengatupkan kedua pahanya dan dililitkan ke pinggang si bocah. Kedua tangannya juga mendekap tubuh anak itu erat-erat. Hanya mulutnya yang sedikit menganga dan mendesis, menandakan Baby sudah sangat dekat dengan titik puncaknya.
“Uuh... a-aku sampai... uuhhff!!” rintihnya penuh kenikmatan. Cairannya menyembur deras, sederas darah yang tiba-tiba muncrat dari batang lehernya. Baby sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Yang ia tahu cuma memandang ke samping, kemudian ke lantai, lalu ke langit-langit ruangan; semuanya jungkir balik dalam gambar-gambar campur aduk tak karuan yang seakan-akan berlangsung selamanya, padahal cuma beberapa detik saja.
Kepala Baby terus menggelinding sampai terantuk kaki meja. Disana, matanya menatap kosong ekspresi kaget di sorot mata Harry yang sama-sama terpenggal. Kepala keduanya bersanding seperti malam-malam dingin yang sering mereka lalui bersama, bedanya; kali ini mereka sama-sama tak bernyawa.
Si bocah turun dari ranjang dan menumpahkan spermanya yang kental di mulut Baby, dia mengoleskan cairan putih itu hingga bercampur dengan darah Baby yang merah pekat. Selanjutnya ia menenteng kepala-kepala itu dan diletakkannya di dalam lemari di lantai bawah, bercampur dengan deretan kepala busuk yang sudah terlebih dahulu ada, beberapa bahkan sudah menjadi tengkorak hingga tak bisa dikenali lagi. Sementara tubuh mereka, dipotongnya menjadi beberapa bagian, lalu dibungkus dengan plastik berisi garam, dan diletakkan agak di sebelah kiri dari tumpukan yang sudah membukit.
Tanpa perlu repot-repot mencuci tangannya yang belepotan darah, anak muda itu kembali menaiki truknya, meninggalkan gudang tua miliknya, bersiap untuk mencari korban baru lagi.